Khutbah Idhul Fitri 1431 H/2010 M

“ PUASA MENUJU MA'RIFATULLAH”
Oleh : Hendra Umar, S.Ag

(Staf Seksi Urais dan Peny. Haji Kantor Kementerian Agama Kabupaten Banggai Kepulauan)

اَلـسَّـــــــلاَم عَلـَـــــيْكُمْ وَرَحْمَة اللهِ وَبَرَكــــــــــــاته
لاإلهَ إلاَّاللهُ وَاللهُ أكبَرُ, اللهُ أكبَرُوَللهِ الحَمْدُ . الحَمْدُ للهِ رَبّ x ٩ اَللهُ أكبَرُ
العَــــالمِيْنَ, وَبهِ نَسْتعِيْنُهُ عَليَ أًمُوْرالدّنيَا وَالدّيْنَ. أشْـهَدُ أن لاَّ إلهَ إلاَّاللهُ
الْمَلِكُ الْحَقُّ الَمُبيْنَ , وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلهُ صَـــــــادِقُ الْوَعْدُ الأمِيْنَ. أللـَّـــــهُمَّ فصَلي وَ سَلِمُ وَبَـــــــارِكْ عَليَ سَيّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَليَ آلِهِ وَأصْحَابهِ أجْمَعِيْنَ , أمَّا بَعْدُ. فيَا عِبَادَالله , إتَّقُوااللهَ حَقَّ تقاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ
إلاَّ وَأنتُمْ مُسْلِمُوْنَ , فقدْ فازَالْمُتَّقُوْنَ.

Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Pada hari ini, seluruh umat Islam yang berjumlah lebih dari satu miliar di muka bumi, termasuk umat Islam di Kabupaten Banggai Kepulauan yang berjumlah 122.889 (seratus dua puluh dua ribu delapan ratus delapan puluh sembilan) jiwa, kembali mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil yang membahana di langit biru; mengalun dari masjid, mushalla, tanah lapang, dan rumah-rumah kaum muslimin; menyusuri sudut-sudut kota sampai ke gang sempit perkampungan dan lorong pedesaan; menyusup dalam hati setiap insan yang di dalam hatinya bertahta kalimah syahadah, Laa Ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah.
Di pagi hari yang mubarakah ini, setiap muslim tanpa memilih status sosial, kedudukan, pangkat dan jabatan, baik yang kaya-raya maupun miskin papa, pejabat atau rakyat, konglomerat atau melarat, orang tua atau anak muda, semuanya datang berduyun-duyun ke masjid dan tanah lapang untuk bersimpuh dalam ruku’ dan sujud Shalat ‘Idh, serta mengagungkan asma Allah Swt. dan kebesaran-Nya.
Inilah hari raya 'Idhul Fithri, hari tatkala jiwa-jiwa yang memiliki iman dan bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa dan berzakat fitrah akan kembali menuju kesucian dan mereguk nikmatnya pembebasan dari dosa dan nista, sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

"Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ihtisab, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."

Allah swt. berfirman dalam Q.S. al-Tawbah ayat 103 :

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui."

Inilah Hari Idhul Fithri, hari yang penuh dengan keberkahan, sebagaimana tergambar dari makna katanya. ‘Idh bermakna “kembali ke tempat semula,” sedangkan kata fithrah bermakna “keadaan yang mula”, “asal” atau sesuatu yang “asli”. Dengan kata lain, setiap insan yang sedang ber-‘idhul fithri, pada hakikatnya sedang kembali menuju pada asal mula dirinya ketika ia diciptakan oleh Allah Swt. Fithrah inilah menjadi modal dasar penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah Swt. Dalam Q.S. Ar-Rum ayat 30:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Syaikh Abu Bakar Muhammad al-Bahsaanii dalam kitab Gharibil Qur'an menafsirkan maksud fitrah khususnya dalam ayat ini adalah tujuan penciptaan manusia agar manusia tahu mereka memiliki Tuhan yang telah menciptakan mereka. Al-Hakim sebagaimana dinukilkan pendapatnya oleh Imam Jalaluddin As-Suyuuthi dalam Kitab Ad-Duurul Mantsuur, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur'aan al-'Azhiim, Ar-Raazi dalam Tafsir Mafaatihul Ghaib, serta Imam Al-Ghazaali dalam kitab Ihyaa 'Ulumuddiin semuanya menegaskan bahwa maksud fitrah dalam ayat tersebut adalah potensi manusia untuk ma'rifah atau mengenal Tuhannya dan bertauhid dengan meyakini bahwa tidak ada Tuhan selain-Nya.
Dalam Tafsir Ath-Thabaarii dinukilkan atsar dari Yunus, dari Ibnu Wahab dari Ibnu Zaid ra, dikabarkan bahwa ketika Ibnu Zaid ra. ditanyakan makna fitrah dalam Q.S. Ar-Rum ayat 30, maka ia membacakan Firman Allah Swt. Q.S. Al-A’raaf ayat 172 :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)"

Ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa manusia sebelum dilahirkan dari rahim ibunya, maka ia diminta bersyahadat akan keberadaan Allah Swt., sehingga tatkala ia dilahirkan, maka ia telah membawa bibit ma’rifatullah atau mengenal Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini dibenarkan oleh temuan ahli Neorologi atau ahli Syaraf, yaitu V.S. Ramachandran, bahwa pada otak manusia terdapat jaringan syaraf yang berfungsi mengantarkan manusia senantiasa merindukan dan ingin dekat dengan Tuhannya, sehingga jaringan syaraf tersebut disebut God Spot. Dengan kata lain, sudah menjadi fitrah manusia untuk mengenal dan ingin dekat dengan Tuhannya.
Jelaslah sekarang, bahwa insan yang ber-‘idhul fithri adalah manusia-manusia yang kembali lebih mengenal dan lebih dekat kepada Allah Swt. Orang yang ber-‘idhul fithri sekali-kali bukanlah yang berbalut baju baru, bukan pula bangga dengan rumah yang dicat mengkilap seperti baru, atau duduk bersandar pada sofa dan kursi baru, tetapi senantiasa memperbaharui diri untuk semakin ma'rifatullah atau mengenal Allah Swt. dan kebesaran-Nya.
Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Ma'rifatullah atau mengenal Allah Swt. dan kebesaran-Nya tidaklah bukanlah sekedar ingatan, hafalan atau ucapan. Betapa kering kerontangnya agama ini, jika tauhid sebagai landasan fundamental keimanan dan keislaman hanya sekedar olahraga otak dengan menghafal pengertian tauhid, 13 sifat Tuhan, dan 99 Asmaa'ul husna, lalu diikuti senam lidah dengan mengucapkannya dalam shalat dan dzikir. Inilah puncak pemiskinan tauhid sebagai ilmu yang paling asasi dan fundamental dalam Islam karena tauhid ternyata telah difungsikan tidak ubahnya hafalan-hafalan rumus-rumus matematika. Asma Allah berubah laksana mantera-mantera magis paranormal yang cuma sekedar berhenti dilidah untuk dilafazhkan tanpa bekas. Terjadilah pendisanaan, di mana Tauhid dan sifat Tuhan terlihat melangit dalam tataran ide-ide yang tidak mampu bergerak ke arah pendisinian atau membumi dalam realitas kehidupan manusia.
Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Ibadah puasa dan zakat fitrah sesungguhnya telah mengajarkan setiap mukmin untuk memfungsionalisasikan tauhid sebagai gerak dinamis sang mukmin untuk meneladani sifat-sifat Allah Swt. dalam kerangka ma'rifatullah atau pengenalan akan kebesaran-Nya lewat tindakan nyata, tentu sesuai batas-batas kemanusiaannya.
Prof. Dr. Quraish Shihab, ahli tafsir kontemporer menegaskan bahwa dengan tidak makan dan minum sewaktu menjalankan ibadah puasa, maka seorang mukmin sedang meneladani Tuhan yang tidak makan dan tidak minum. Melalui zakat fitrah, seorang mukmin juga meneladani sifat Allah Swt. yang memberi makan kepada makhluknya, seperti yang diperkenalkan Allah Swt. dalam Q.S. al-An'aam ayat 14 :
. .
Artinya : "Katakanlah: "Apakah akan Aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal dia memberi makan dan tidak diberi makan. . . ?"

Dengan tidak melakukan hubungan seksual sewaktu berpuasa, maka seorang mukmin meneladani sifat Tuhan yang tidak beranak atau pun bersuami atau beristeri, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Al-An'aam ayat 101 :

Dia Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.

Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Sekali pun hanya ketiga sifat tersebut yang ditiru manusia melalui ibadah puasa dan zakat fitrah, namun Prof. Dr. Quraish Shihab menjelaskan bahwa segi hakikat dari subtansi terakhir pelaksanaan ibadah puasa dan berzakat fitrah adalah memantulkan sifat-sifat Tuhan dalam kepribadian manusia sesuai batas-batas kemanusiaan, kecuali sifat Ketuhanan yang memang tidak mungkin ditiru oleh manusia. Dengan kata lain, hakikat puasa dan berzakat fitrah adalah meneladani dan mengadopsi sifat-sifat Tuhan sesuai kemampuan manusia sebagai makhluk.
Dapatkah manusia meniru sifat Allah, padahal Allah Maha Sempurna dan Maha Tak Terbatas, sedangkan manusia serba kekurangan dengan kemampuan terbatas ? Sekali pun manusia makhluk yang tidak sempurna, namun perlu kita pahami bahwa manusia adalah khalifatullah atau wakil Allah Swt. di muka bumi yang dianugerahi potensi untuk mengatur dunia dalam batas-batas kemanusiaan, sebagaimana Allah Swt. mengatur alam raya, sehingga memiliki potensi untuk meniru sifat Allah Swt. tentu dengan batas-batas kemampuannya sebagai manusia, kecuali sifat Ketuhanan yang tidak sanggup ditiru oleh makhluk manapun. Inilah dimaksudkan firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Qashash ayat 77 :

. . . berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik kepadamu, . . .

Dzun Nun al-Mishri rah.., seorang shufi yang mencapai ma'rifatullah hakiki mengatakan :
تخلقا بأخلاق الله الجميلة
Berakhlaklah kamu dengan akhlak Allah Swt. Yang paling indah

Jika Allah Swt. dengan sifat Ar-Rahman (Maha Pengasih), Ar-Rahiim (Maha Penyayang), dan Ar-Raaziq (Maha Pember Rezki) maka puasa seharusnya mampu menarik khazanah sifat Allah tersebut dalam kepribadian kita, sehingga kita tampil menjadi pengasih, penyayang dan membagi-bagikan rezki untuk disedakahkan atau diinfakkan bagi semua makhluk tanpa terkecuali.
Layakkah kita disebut insan muttaqin yang sudah lulus dari ujian ibadah puasa, jika kita sanggup menutup mata dan telinga terhadap teriakan nestapa si fakir kelaparan, si miskin papa yang terhimpit oleh berbagai kekurangan harta, atau tatapan nestapa sang yatim yang terancam putus sekolah ? Di manakah iman kita, sampai-sampai mampu tertawa renyah menerima gaji dan honor berjuta-juta dan namun sampai hati menatap sinis terhadap setiap celengan masjid yang singgah di depan kita. Dapatkah kita mencapai ma'rifatullah dengan senyuman manis tatkala menatap buku tabungan yang berderet-deret angka nolnya, namun di dekat kita ada masjid yang terlunta-lunta pembangunannya, atau madrasah/pondok pesantren/Taman Pendidikan Al-Qur'an yang hampir tutup karena tidak mampu membayar gaji guru. Padahal Allah Swt. berjanji yang janji-Nya tidak pernah diingkari al-Baqarah ayat 261 :

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Jika Allah Swt. sifat-Nya al-'Afuwwu (Maha Pemaaf), maka seorang yang lulus dari ibadah puasa maka puasa semestinya mampu menarik khazanah sifat Allah tersebut dalam kepribadian kita, sehingga kita menjelma menjadi pemaaf, suka memberi maaf, dan menghapuskan bekas-bekas luka hatinya oleh tindakan siapapun yang menyakiti dirinya.
Ingatlah, dendam kesumat hanya melahirkan kegelisahan hati, stress berkepanjangan, dan perbuatan jahat berantai yang saling membalas tanpa henti yang sesungguhnya bisa dihentikan oleh kesediaan memaafkan dengan lapang dada. Sungguh !!! tidak terhina dan tidaklah direndahkan derajatnya orang yang meminta maaf, selain terpancarnya kebesaran jiwa yang bersedia bertanggung jawab dan mengakui kesalahan. Sungguh !!! Tidaklah sang pemberi maaf terkena musibah tidak bisa membalas perbuatan jahat, kecuali terhapuskannya malapetaka dendam kesumat digantikan oleh kemuliaan hati karena bersedia merangkai tali persaudaraan dan persahabatan dengan orang yang dahulu menyakitinya, diiringi oleh pujian Allah Swt., Sang Maha Pemberi Maaf dalam Q.S. Asy-Syuura ayat 37 :

Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.

Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Kalaulah Allah 'Azza wa Jalla al-Quddus (Maha Suci), maka seorang yang lulus dari ibadah puasa maka puasa semestinya mampu menarik khazanah sifat Allah tersebut dalam kepribadian kita, sehingga kita muncul menjadi orang yang suka mensucikan diri, baik secara jasmani maupun ruhani. Kita lalu akrab dengan air wudhu dan mandi janabah apabila berhadats, ber-thaharah apabila terkena najis, serta menata tempat tinggal dengan rapi dan bersih. Istighfar menjadi hiasan lidah setiap saat, sedangkan air mata kita tidak henti menangis dalam tahajjud kita ditengah keheningan malam tatkala terlintas segala dosa dan nista. Zakat kita tunaikan ditambah infaq dan shadaqah untuk mensucikan harta kita dan diri kita dari penyakit mothongot alias bakhil. Akhirnya, Allah Swt. sendiri memaklumkan bahwa kita adalah orang yang dicintai-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam al-Baqarah ayat 222 :

. . . .Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.


Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Manakala Allah Swt. al-'Aadil (Maha Adil), , maka seorang yang lulus dari ibadah puasa maka puasa semestinya mampu menarik khazanah sifat Allah tersebut dalam kepribadian kita, sehingga kita tampil menjadi orang yang menegakkan keadilan, adil kepada baik kepada Allah, diri sendiri, keluarga dan siapa saja. Adil terhadap Allah Swt. adalah menunaikan hak-hak Allah sebagai Sang Khaliq, sehingga kita segera terpanggil mendirikan shalat berjamaah tatkala adzan berkumandang, menunaikan zakat ketika cukup haul dan nisab, dan naik haji di saat memiliki kemampuan. Adil terhadap diri sendiri diwujudkan dengan hawa nafsu dibawah bimbingan agama dan akal, bukan dikendarai syaitan. Adil kepada orang lain ditunaikan dengan meletakkan sesuatu sebagaimana mestinya sesuai porsi dan hak-haknya, bukan dizalimi dan diperkosa hak orang lain. Kita lalu muncul sebagai insan yang tunduk pada perintah-Nya sebagaimana difirmankan-Nya dalam Q.S. al-Maa'idah ayat 8 :

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Allahu Akbar 3 x , wa Lillahil Hamd
Masih banyak lagi sifat Allah Swt. yang perlu kita tarik dan diadopsi menjadi kepribadian kita sehari-hari untuk menuju ma'rifatullah dengan ibadah puasa dan zakat fitrah yang kita jalankan. Inilah hakikat dari penggemblengan ibadah puasa dan zakat fitrah agar kita benar-benar terkondisikan menjadi insan kamil sebagai manifestasi sempurna dari peran kita sebagai khalifatullah.
Namun tatkala ibadah puasa tidak memiliki greget untuk mengantarkan kita menuju ma'rifatullah sampai finalnya di hari raya 'idhul fithri, maka sangat disayangkan, idhul fithri hanya sekedar berhenti pada harumnya minyak wangi yang melekat pada pakaian baru kita, lebaran cuma sampai di depan pintu rumah yang dipelitur baru, hari raya sekedar hanya alunan takbiran dari tape recorder dan VCD yang kita bunyikan, namun diri kita hakikatnya tidaklah ber-idhul fithri. Mungkin diri kita masuk dalam hitungan Rasulullah saw. :
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ
"Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan banyak orang yang bangun malam (mendirikan shalat tarawih dan shalat lail), tetapi tidak mendapat apa-apa kecuali terjaga (tidak dapat tidur malam). (HR. Ibnu Majah, Nasaa'i dan Ibn Khuzaimah)

ﻮﺍﻟﺬﻜﺭ ﺍﻷﻴﺎﺖ ﻤﻥ ﻓﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﻮﺇﻴﺎﻜﻡ ﻮﻨﻔﻌﻧﻲ ﺍﻟﺤﻜﻴﻡ ﺍﻟﻘﺭﺁﻥ ﻓﻲ ﻮﻟﻜﻡ ﻟﻲ ﺍﷲ ﺑﺎﺭﻚ
ﻭﺃﺴﺘﻐﻔﺭ ﻫﺫﺍ ﻗﻭﻟﻲ ﺃﻗﻮﻞ . ﺍﻟﻌﻟﻴﻡ ﺍﻟﺴﻣﻴﻊ ﻫﻭ ﺇﻧﻪ ﺗﻼﻮﺗﻪ ﻤﻧﻜﻡ و ﻤﻧﻲ ﻮﺗﻘﺑﻞ ﺍﻟﺣﻜﻴﻡ
ﻭﺍﻠﺆﻣﻧﺎﺖ ﻭﺍﻠﻣﺆﻣﻧﻴﻦ ﻭﺍﻠﻣﺴﻠﻣﺎﺖ ﺍﻠﻣﺴﻠﻣﻴﻦ ﻭﻠﺴﺎﺌﺭ ﻭﻠﻜﻡ ﻠﻲ ﺍﻠﻌﻅﻴﻡ ﺍﷲ
ﺍﻠﺮﺤﻴﻡ ﺍﻠﻐﻔﻭﺭ ﻫﻭ ﺇﻧﻪ ﻓﺎﺴﺘﻐﻔﺭﻭﻩ