Selasa, 14 September 2010

Pengertian, Ruang Lingkup dan Sumber-Sumber Hukum Islam

PENGERTIAN, SUMBER-SUMBER
DAN RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Oleh : Hendra Umar, S.Ag

1. Pengertian Hukum Islam
Kata hukum secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yaitu : hakama (fi•il mādī) dan yahkumu (fi•il mudāri•) yang bermakna qadā (keputusan atau ketetapan) dan fasala (pemisah).(1) Peradilan disebut al-qadā’ karena pada lembaga inilah lahir keputusan dan ketetapan hukum yang bersifat mengikat bagi orang-orang yang diberikan putusan hukum oleh hakim. Hakim disebut al-qādī karena dari mereka menetapkan hukum dan memisahkan antara kebenaran dan kesalahan, sehingga jelas perkara yang benar dan perkara yang salah demi tercapainya keadilan.
Definisi hukum secara terminologi dikemukakan oleh Syaikh al-•Uśaymin: "Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan atau peletakan." (2)
Istilah hukum Islam (al-ḥukm al-Islāmī) sebenarnya tidak dikenal dalam al-Qur'an, hadis maupun kitab-kitab klasik (kutub al-qadīmah) yang ditulis oleh ulama masa dahulu (salaf), jika dimaksudkan sebagai produk-produk hukum yang berasal dari dalil-dalil nas maupun hasil ijtihad. Hukum dalam makna ulama ushul fikih sering dimaknakan dengan lima hukum yang dibebankan (taklīf) pada manusia, yaitu: wajib, sunnah, makruh, mubah atau halal, dan haram. (3)
Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia sebagai terjemahan dari kata syariat dan fikih, sebagaimana kalangan ahli hukum Barat menyebut syariat dengan sebutan Islamic Law atau Law in Islam dan fikih dengan Islamic Jurisprudance. (4)
Pengertian syariat bersifat luas mencakup seluruh tatanan nilai dan norma dalam kehidupan Islam yang menyangkut keimanan atau akidah yang benar (al-i•tiqādiyyah), amal perbuatan manusia (al-•amaliyyah), maupun akhlak (al-akhlāqiyyah) yang menggambarkan keseluruhan ajaran Islam. (5)
Fikih merupakan penafsiran terhadap syariat, khususnya mengenai amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil terperinci (tafsiliyyah) dan dirumuskan dalam hukum-hukum, seperti wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Fikih sebenarnya merupakan penjabaran dari syariat secara praktis dan pragmatis.(6)
Penjabaran fikih terhadap syariat melalui istimbat (penggalian hukum) dari ijtihad (7) para fuqaha telah melahirkan nuansa hukum Islam berupa ikhtilāf (perbedaan-perbedaan pendapat) dalam mendiskursuskan suatu problem hukum yang berpuncak pada lahirnya maźhab-maźhab fikih sekitar awal abad ke-2 H. atau abad ke-8 M. antara lain :
a. Maźhab Ja•farī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Ja•far bin Muhammad al-Baqīr bin Zainal •Abidin bin Husayn bin •Ālī bin Abī Tālib (80-148 H/699-765 M.).
b. Maźhab Zaydiyyah yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Za•id bin •Ālī Zainal •Abidin bin Husayn bin •Ālī bin Abī Tālib (80-122 H/699-736 M.)
c. Maźhab Hanāfī yang dinisbatkan pada pendirinya, al-Imām Abū Hanifah Nu•man bin Śabit bin Zufi al-Tamimi (80-150 H/699-767 M.)
d. Maźhab Malikī yang dinisbatkan pada pendirinya, al-Imām Mālik bin Anas bin Abī Amir al-Asbahānī (93-179 H/712-795 M.)
e. Maźhab Syafi•ī yang dinisbatkan pada pendirinya, al-Imām Muhammad bin Idris al-Quraysyī al-Hasyimī bin al-•Abbas bin •Uśmān bin Syafi•ī (150-204 H/769-820 M.)
f. Maźhab Hanbalī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Abū •Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Ḥanbal bin Ḥilāl al-Syaybanī (164-241 H/780-855 M.)
g. Maźhab Zahiriyyah yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Abū Sulayman Dawūd •Ālī al-Isfahānī al-Zahirī (202-270 H).
h. Maźhab •Ibadiyyah yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū Sya•śa al-Tabi•i Jabir bin Za•id (wafat tahun 93 H/711 M) dan •Abdullah bin •Ibad al-Tami (wafat tahun 80 H.).
i. Maźhab al-Awzā•ī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu al-Imām Abū Amr •Abdurrahmān bin Muhammad al-Awzā•ī al-Dimasyqī (88-157 H.)
j. Maźhab al-Śawrī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū •Abdillah Sufyān bin Sa•ad al-Śawri al-Kūfī (wafat tahun 161 H.).
k. Maźhab al-Layśī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū al-Ḥariś al-Layśī bin Sa•ad al-Fahmī (wafat pada tahun 175 H.).
l. Maźhab al-Tabarī yang dinisbatkan pada pendirinya, yaitu Abū Ja•far Muhammad bin Jarīr al-Tabarī (244-310 H.) (8)
Para imam maźhab maupun fuqaha pendukungnya banyak berbeda pendapat dalam mendiskursuskan suatu masalah. (9) Perbedaan pendapat ini muncul dari perbedaan metodologi pengambilan hukum dan ijtihad, sudut pandang maupun perkembangan situasi dan kondisi yang berbeda di antara imam mażhab dan fuqaha. Ilmu Fikih Perbandingan sangat diperlukan dalam memahami berbagai perbedaan pendapat yang muncul di kalangan fuqaha.
2. Sumber-Sumber Hukum Islam
Produk-produk fikih lahir dari beberapa sumber hukum. Ada sumber hukum yang disepakati oleh semua ulama, ada sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas ulama, dan ada pula sumber hukum Islam yang diperselisihkan keberadaannya oleh para fuqaha.
a. Sumber Hukum Islam yang Disepakati Ulama
Sumber hukum Islam yang disepakati para ulama ada dua, yaitu:
(1) Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan firman Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril a.s. dengan menggunakan lafaz bahasa Arab dengan makna yang benar dan menjadi hujjah dan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. tentang kerasulannya, menjadi undang-undang dan petunjuk bagi umat manusia, dan membacanya adalah ibadah. (10) Pengertian ini langsung memberikan gambaran bahwa al-Qur’an merupakan induk dari segala sumber hukum. (11) Barangsiapa menolak eksistensi al-Qur’an sebagai wahyu Allah swt. maka jelas kekafirannya, walaupun hanya satu ayat disebabkan semua isi al-Qur’an adalah qat•iyyah al-śubut atau pasti datangnya dari Allah swt. tanpa keraguan sedikit pun. (12)
Sekali pun al-Qur'an sebagai sumber hukum Islam pertama dan utama, tetapi memahami ayat-ayatnya perlu penafsiran yang didukung oleh penggunaan dalil-dalil lainnya. Dengan kata lain, memahami al-Qur'an, termasuk menetapkan hukum Islam berdasarkan al-Qur'an memerlukan pula dalil-dalil yang lain. Kondisi ini disebabkan Empat hal, yaitu:
(a) Banyak hukum-hukum yang ditetapkan dalam al-Qur'an masih berbentuk global, sehingga membutuhkan penjelasan dalil lain untuk memperjelas maksud dan penerapan hukum tersebut. Misalnya, perintah shalat, berzakat, menunaikan haji, dalam al-Qur'an tidak dijelaskan tentang rukun, syarat dan tata cara pelaksanaannya (kayfiyah), sehingga membutuhkan penjelasan dari dalil lain, terutama hadis sehingga bisa dilaksanakan.
(b) Makna-makna dalam ayat al-Qur'an ada yang qat˙iy al-dalālah (bisa dipahami secara pasti) (13) , namun ada pula ayat al-Qur'an yang zanniy al-dalālah (makna-maknanya masih samar) yang membutuhkan penafsiran. (14)
(c) Beberapa makna dalam al-Qur'an membutuhkan penjelasan asbāb al-nuzūl (latar belakang peristiwa diturunkannya ayat tersebut). Jika latar belakang peristiwa tersebut tidak dipahami maka kemungkinan besar akan salah memahami dan mempraktekkan maksud ayat tersebut. M (15)
(2) Hadits
Hadis menurut istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw., baik perkataannya (qawl), perbuatannya (fi•il), atau penetapannya (taqrīr). Dalam konteks ini, hadis disebut juga sunnah. (16) Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah al-Qur'an yang tidak ada perselisihan di antara umat Islam tentang penerimaannya sebagai sumber hukum Islam. Hadis memiliki fungsi yang sangat penting bagi penetapan hukum pada al-Qur'an, antara lain: (17)
(a) Penguat hukum terhadap peristiwa yang telah ditetapkan dalam al-Qur'an.
(b) Pemberi keterangan terhadap ayat-ayat al-Qur'an, meliputi:
(i) Merinci ayat yang bersifat global.
(ii) Membatasi kemutlakan suatu ayat; serta
(iii) Membawa hukum baru yang tidak ditetapkan oleh al-Qur'an.
Sunnah juga masih memerlukan penelitian, penafsiran dan dalil lain jika digunakan sebagai sumber hukum Islam disebabkan beberapa hal, yaitu:
(a) Hadis tidak semuanya qat•iyyah al-śubut (pasti sumbernya dari Rasulullah saw.). Hanya sedikit sekali hadis yang mutawatir (18) yang menunjukkan pasti sumbernya dari Rasulullah saw. Ada hadis masyhūr (19) dan ahad (20) yang zanniyyah al-śubut (belum bisa dipastikan sumbernya berasal dari Rasulullah saw.) yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan tingkat kesahihan (sahīh) periwayatannya berasal dari Rasulullah saw. Dari segi tingkat kesahihan, ada hadis sahīh, (21) hadis hasan (22) dan hadis da•īf, (23) dan hadis mawdū•. (24) Hanya hadis sahīh dan hadis hasan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam. Hadis da•īf tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum Islam, apalagi hadis mawdū• yang jelas-jelas haram menggunakannya sebagai sumber hukum Islam. Sebagian ulama, seperti Imam al-Nawāwī membolehkan menggunakan hadis da•īf untuk fadā’il •amal (menerangkan keutamaan suatu amal), targīb (mendorong manusia beramal) atau tarhīb (memberikan peringatan terhadap manusia), selama hadis tersebut belum sampai ke derajat mawdū•. (25)
(b) Beberapa makna-makna dalam hadis ada yang zanniy al-dalālah, sehingga membutuhkan penafsiran. (26)
(c) Beberapa penetapan hukum Islam dalam suatu hadis ada yang telah di-nasakh (ketentuan hukumnya telah dihapus dengan hadis lain) yang datang kemudian sebagai mansukh (penetapan hukum yang menghapuskan). Ada pula hadis yang perlu dipahami asbāb al-wurūd (latar belakang peristiwa yang menjadi penyebab lahirnya hadis tersebut). Jika hal ini tidak diketahui maka kemungkinan besar ditetapkan hukum yang sebenarnya telah dihapuskan atau ditetapkan oleh Rasulullah saw. berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus. (27)
(d) Beberapa hadis secara zahir terlihat ta·arrud (bertentangan maknanya) yang perlu diselesaikan dengan menggunakan metode naskh, tawfiq atau jama·,dan tarjih. (28)
b. Sumber Hukum Islam yang Disepakati Mayoritas Ulama
Selain kedua sumber tersebut, ada pula dua sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama sunni, yaitu ijmak (al-ijmā•) dan qiyas (al-qiyās). (29) Kedua sumber hukum Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Ijmak
Ijmak adalah kesepakatan semua kalangan mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa tertentu dari berbagai kurun waktu setelah wafatnya Rasulullah saw. tentang suatu hukum syariat dalam suatu masalah tertentu. (30)
Dalam konteks pengertian ini, sesuatu disebut ijmak minimal harus memiliki empat syarat, yaitu: (31)
(a) Ketika terjadi peristiwa hukum harus ada beberapa mujtahid.
(b) Semua mujtahid harus mengakui hukum yang mereka putuskan dengan tidak memandang negara, kebangsaan atau golongan.
(c) Kesepakatan tersebut dilahirkan oleh para mujtahid secara tegas terhadap peristiwa itu, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Berdasarkan hal ini, ijmak dibagi dalam dua macam, yaitu:
(i) Ijmā• al-qawl, yaitu suatu kebutalan pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid yang lahir dalam bentuk perkataan yang jelas.
(ii) Ijmā• al-sukūtī, yaitu sesuatu yang dipandang telah menjadi kebulatan pendapat para mujtahid disebabkan pendapat seseorang atau sekelompok orang mujtahid yang diketahui oleh mujtahid lain, tetapi mujtahid lain tersebut tidak menyatakan pendapat apapun, baik persetujuan maupun penolakan.
(d) Kesepakatan tersebut merupakan kebulatan pendapat semua mujtahid.
Para fuqaha dalam menyikapi keberadaan ijmak sebagai sumber hukum Islam terbagi atas tiga bagian, yaitu: (32)
(a) Golongan yang menerima otoritas ijmak sebagai sumber hukum Islam. Imam Abū Hanifah menerima otoritas ijmak, bahkan ia tidak mau berselisih dengan pendapat yang telah disepakati oleh ulama Kufah. (33) Imam Mālik juga menerima otoritas ijmak dan menjadikan kesepakatan para ulama Madinah sebagai sumber hukum Islam, bahkan ia tidak menerima hadis ahad yang bertentangan dengan amalan ulama Madinah. (34)
(b) Golongan yang menolak otoritas ijmak sebagai sumber hukum Islam. Kaum Khawārij menolak otoritas ijmak sebagai sumber hukum Islam karena hanya menerima otoritas al-Qur'an. (35) Al-Nazzam (wafat 231 H.), Ja•far bin Harb (wafat 236 H.) dan Ja•far bin Mubasysyir (wafat 234 H.) dari golongan Mu•tazilah juga menolak otoritas ijmak karena berpendapat bahwa umat Islam bisa saja bersepakat dalam kesalahan. (36)
(c) Golongan yang menerima sebagian ijmak dan menolak sebagian yang lain. Imam al-Syāfi•ī dan Imam Ahmad bin Hanbal meneguhkan otoritas ijmak dengan syarat bahwa ijmak tersebut benar-benar merupakan kesepakatan seluruh ulama tanpa ditemukan seorang pun yang membantahnya, sehingga keduanya menolak ijmak sukūtī (37) . Ulama Syi•ah hanya menerima ijmak yang disetujui oleh kalangan keluarga Nabi Saw. (ahl al-bayt) karena berpandangan bahwa ijmak adalah sarana untuk menyingkap pendapat para imam dari kalangan keluarga Nabi saw. (38) Sedangkan Abū Dawūd al-Zahirī dan Ibn Hazm dari Mażhab Zahiri hanya menerima ijmak yang disepakati oleh generasi sahabat. (39)
(2) Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan hukumnya dengan peristuwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan •illah di antara keduanya. (40) Qiyas seperti analogi hukum ketika menghadapi suatu peristiwa hukum yang baru dan tidak ada ketentuannya dalam al-nas (al-Qur'an dan hadis) dengan menjadikan hukum pada peristiwa hukum yang sudah ada ketentuannya dalam al-nas sebagai panduan, lalu menerapkan hukum tersebut kepada peristiwa yang baru karena adanya persamaan •illah (41) . Berdasarkan hal ini, muncul qa•idah usūl (kaidah hukum Islam):
إذَا وُجِدَتْ الْعِلَّةُ وُجِدَ الْمَعْلُولُ
Artinya: “Apabila wujud suatu •illah maka wujud pula al-ma•lūl (hukum-hukum yang menyertai •illah”. (42)
Qiyas sebagai sumber hukum Islam diterapkan dengan memenuhi empat rukun, yaitu: (43)
(a) Al-Asl, yaitu peristiwa yang telah sudah ada ketentuan hukumnya dalam al-nas yang dijadikan patokan mengqiyaskan hukum suatu masalah. al-asl disebut juga al-maqīs •alayh atau al-mahmūl •alayh. Syarat-syarat al-asl, yaitu:
(i) Hukum yang terdapat pada al-asl ditetapkan oleh al-Qur'an dan hadis, misalnya hukum haramnya khamar yang ditetapkan oleh Q.S. al-Mā’idah (5): 90. Jumhūr al-•ulama (kebanyakan ulama) menerima al-asl yang ditetapkan berdasarkan ijmak, namun ditolak oleh sebagian ulama lainnya.
(ii) Hukum yang terdapat pada al-asl adalah ma•qūl al-ma•na (dapat diselami akal) untuk menemukan •illah, sehingga memungkinkan untuk dilakukan qiyas pada peristiwa hukum yang belum ditentukan hukumnya dalam al-nas. Misalnya diharamkannya khamar setelah diselami oleh akal •illah-nya karena memabukkan.
(b) Al-Far•u, yaitu suatu peristiwa hukum yang baru yang tidak memiliki ketentuan hukumnya dalam al-nas yang memerlukan dasar penetapan hukum. Al-Far•u disebut pula al-maqīs dan al-mahmūl. Syarat al-far•u, yaitu:
(i) Al-Far•u belum memiliki penetapan hukum dari al-nas maupun ijmak.
(ii) Antara al-far•u dan al-asl harus memiliki kesamaan •illah. Misalnya nabiż (minuman keras yang bahannya bukan berasal dari anggur) yang juga memabukkan, sehingga bisa disamakan dengan khamar.
(c) Hukmu al-asl, yaitu hukum syar’i yang telah ditetapkan pada al-asl, sehingga hukum tersebut bisa pula ditetapkan pada al-far•u. Misalnya, hukum haram pada khamar bisa ditetapkan pada nabiż.
(d) •Illah, yaitu kesesuaian sifat yang terdapat pada hukum al-asl yang sama terdapat pada peristiwa baru atau al-far•u. Misalnya •illah memabukkan sebagai dasar penetapan keharaman khamar, sehingga makanan atau minuman apa pun yang memiliki sifat memabukkan seperti memabukkannya khamar dapat diqiyaskan dengan khamar, sehingga dihukumkan haram seperti nabiż, narkotika dan zat adiktif (NAPZA). Syarat-syarat •illah, yaitu:
(i) Sifat yang dijadikan •illah tampak jelas dan kemungkinan besar diketahui ada atau tidak adanya •illah tersebut. Misalnya khamar jelas diketahui sifat utamanya adalah memabukkan. Sekali pun suatu minuman dibuat dengan perasan anggur, tetapi tidak memabukkan maka tidak dapat disebut dengan khamar.
(ii) Sifat yang dijadikan •illah ada pada peristiwa, benda atau perkara lain, tidak terbatas hanya pada al-asl. Misalnya, sifat memabukkan tidak hanya terdapat pada khamar, namun terdapat pula pada nabiż, narkotika dan zat adiktif. Seandainya sifat memabukkan hanya terdapat pada khamar, maka ia tidak bisa menjadi •illah.
(iii) Sifat yang dijadikan •illah yang ada pada peristiwa merupakan sifat yang tepat dan memiliki batasan yang jelas. Misalnya, haramnya khamar disebabkan sifat yang jelas yaitu memabukkan yang ditandai oleh si peminum khamar akan kehilangan atau tertutup akalnya ketika meminum khamar tersebut. Tertutupnya akal ini merupakan sifat dengan batasan yang jelas yang bisa dikenali oleh panca indera.
Kebanyakan fuqaha menerima qiyas sebagai sumber hukum Islam. Hanya fuqaha Syi•ah al-Imāmiyah, al-Nazzam dari kalangan Mu•tazilah, dan Abū Dawūd al-Zahirī yang menolak keberadaan qiyas sebagai sumber hukum Islam. (44)
c. Sumber Hukum Islam yang Diperselisihkan oleh Para Ulama
Di samping itu pula, ada beberapa sumber hukum Islam yang diperselisihkan keberadaannya oleh para ulama, yaitu:
a. Istihsān
Istihsān adalah berpindahnya seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum kepada hukum yang lain yang berlawanan dengannya karena ada dalil yang dipandang lebih kuat, sehingga mendorong untuk meninggalkan hukum yang pertama. (45) Istihsān juga sering didefinisikan berpaling dari qiyās al-jallī menuju pada qiyās al-khafī atau berpaling dari hukum kullī (hukum yang asas) menuju pada istiśnā’ī (hukum pengecualian) karena ada alasan kuat untuk melakukan hal tersebut. (46)
Istihsān banyak digunakan oleh Imam Abū Hanifah maupun fuqaha yang mengikutinya, terutama apabila penggunaan qiyas akan memunculkan kejanggalan hukum dan ketidakadilan. (47) Imam Mālik dan fuqaha yang mengikutinya juga menggunakan istihsān dalam konteks berpaling dari qiyas menuju pada maslahah al-mursalah apabila suatu peristiwa hukum dengan memenangkan kemaslahatan lebih mendatangkan keadilan dari pada berpegang pada qiyas atau hukum kullī. (48) Imām al-Syāfi•ī menolak istihsān sebagai sumber hukum Islam karena ia memandang bahwa istihsān meninggalkan dalil yang lebih kuat menuju pada dalil yang lebih lemah, seperti meninggalkan qiyas yang semestinya harus didahulukan sebagai sumber hukum Islam dari pada maslahah al-mursalah. Imam al-Syāfi•ī secara khusus membahas masalah istihsān dalam kitabnya al-Risālah yang dipandangnya bukan jenis dari qiyas, bahkan cenderung membuat ketentuan hukum Islam berdasarkan hawa nafsu. (4(0 Sedangkan Ibn Hazm dari mażhab Zahirī berpendapat sama seperti Imām al-Syāfi•(50)

b. Maslahah al-Mursalah
Maslahah al-mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan maslahat atau kepentingan umum terhadap suatu permasalahan yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam syara’, baik secara umum maupun yang khusus. (51) Penyebutan al-mursalah yang berarti “terlepas” untuk menegaskan bahwa maslahat tersebut benar-benar tidak terdapat petunjuk di dalam al-nas untuk membedakan dari maslahat yang disebutkan dalam al-nas, baik secara tekstual (maslahah al-mansūsah) atau pun secara kontekstual/berdasarkan penalaran terhadap suatu al-nas (maslahah al-mustanbata), juga maslahat yang secara jelas ditolak oleh syariat Islam (maslahah al-mulgah). (52)
Suatu maslahah al-mursalah dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam apabila minimal memenuhi tiga syarat, yaitu:
(1) Maslahat tersebut adalah maslahat hakiki yang benar-benar mendatangkan kebaikan serta menolak kemudaratan.
(2) Maslahat tersebut merupakan maslahat yang terkait dengan kepentingan umum, bukan maslahat perorangan.
(3) Maslahat tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh al-nas maupun ijmak. (53)
Imam Mālik dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan maslahah al-mursalah sebagai salah satu sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, bahkan maslahah al-mursalah dapat dijadikan sebagai pengkhususan (takhsīs) terhadap al-Qur'an. (54) Fuqaha Mażhab Syi•ah Zaydiyyah juga menggunakan maslahah al-mursalah sebagai sumber hukum Islam selama tidak ada ketentuannya dalam al-nas yang mereka pandang sebagai salah satu metode untuk menemukan •illah pada qiyas. (55) Imam Najamuddīn al-Tūfī (657-716 H/1259-1318 M.) bahkan menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil utama, sehingga apabila ada al-nas atau ijmak bertentangan dengan maslahah al-mursalah, maka al-nas atau ijmak tersebut harus di-takhsīs atau al-tabyīn (diberikan penjelasan) sesuai dengan maslahah al-mursalah tersebut. (56) Fuqaha lainnya menolak menggunakan maslahah al-mursalah, apalagi mendahulukan maslahah al-mursalah dari al-nas dan ijmak. Imam al-Gazālī (450-505 H/1059-1111 M.) dari kalangan Mażhab Syāfi•īyyah menolak menjadikan maslahah al-mursalah sebagai sumber hukum Islam karena disamakan olehnya dengan istihsan yang ditolak oleh Imam al-Syāfi•ī karena hanya maslahah yang memiliki dukungan dari al-nas saja yang boleh diterima sebagai sumber hukum Islam. (57)
c. Istishāb
Istishāb adalah menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa sebagaimana keadaan sebelumnya, sehingga ditemukan dalil yang merubah keadaan tersebut atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau pada suatu peristiwa sehingga ditemukan dalil lain yang merubah ketetapan hukum tersebut. (58) Istishāb tidak bermaksud menetapkan hukum yang baru, tetapi hanya melanjutkan hukum yang telah ada sebelumnya, sehingga ditemukan dalil kuat yang dapat merubah ketentuan hukum yang lama tersebut. (59) Hal ini dirumuskan dalam qa•idah al-usūl:
الأصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Artinya: “Pada asalnya sesuatu itu tetap pada keadaan semula, sehingga terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.” (60)

Imam Mālik, Imam Syāfi•ī, Imam Ahmad, fuqaha Mażhab Ja•fariyyah dan fuqaha Mażhab Zaydiyyah dari golongan Syi•ah menggunakan istishāb sebagai sumber hukum Islam. (61) Sedangkan fuqaha Mażhab Hanafiyyah memandang tidak cukup menggunakan istishāb sebagai sumber hukum Islam, sehingga memerlukan dalil lain untuk mendukung penetapan hukum yang lama terhadap suatu peristiwa. (62)
d. Al-•Urf
Al-•Urf adalah kebiasaan atau adat-istiadat yang dipraktekkan oleh suatu masyarakat secara terus-menerus, baik perkataan, perbuatan, maupun penolakan untuk tidak mengerjakan sesuatu. Al-•Urf dinamakan juga al-•ādah. (63) Al-•Urf berbeda dengan ijmak, sekali pun keduanya merupakan konvensi dalam mempraktekkan atau menolak mempraktekkan sesuatu. Al-•Urf berorientasi pada kebiasaan masyarakat suatu daerah, sehingga antara satu daerah dengan daerah lain berbeda kebiasannya. Sedangkan ijmak berorientasi pada kesepakatan fuqaha lintas daerah, wilayah, bahkan negara.
Al-•Urf dalam pandangan sebagian fuqaha merupakan sumber hukum Islam sehingga dirumuskan qa•idah al-usūl:
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: “Adat istiadat itu menjadi hukum”.(64)
Ada tiga syarat menjadikan al-•urf sebagai sumber hukum Islam, yaitu: (65)
(1) Al-•Urf tidak bertentangan dengan al-nas yang qat•ī. Berdasarkan hal ini, para fuqaha membagi al-•urf menjadi dua macam, yaitu: (66)
(a) Al-•Urf al-sahīh, yaitu al-•urf yang tidak bertentangan dengan al-nas, tidak menghalalkan yang haram atau tidak membatalkan sesuatu yang diwajibkan hukum Islam.
(b) Al-•Urf al-fasid, yaitu al-•urf yang bertentangan dengan al-nas, menghalalkan sesuatu yang haram atau membatalkan sesuatu yang diwajibkan hukum Islam.
(2) Al-•Urf harus berlaku umum pada semua peristiwa atau sudah menjadi kebiasaan umum yang dipraktekkan oleh masyarakat, sehingga dirumuskan qa•idah al-usūl:
إنَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَادَةُ إذَا اطَّرَدَتْ
Artinya: “Sesungguhnya adat-istiadat yang dianggap (sebagai dasar penetapan hukum) apabila menjadi adat yang terus-menerus (dipraktekkan masyarakat). (67)

(3) Al-•Urf harus berlaku selamanya berdasarkan adat-istiadat yang sudah dipraktekkan sejak lama, bukan adat-istiadat yang dilakukan pada masa kini atau masa yang akan datang.
Imam Abū Hanifah dan Imam Mālik menggunakan al-•urf sebagai sumber hukum Islam apabila tidak ditemukan al-nas yang mengatur masalah yang akan diputuskan hukumnya, sedangkan Imam al-Syafi•ī tidak menggunakan al-•urf sebagai sumber hukum Islam kecuali ditemukan dukungan al-nas terhadap al-•urf tersebut. Namun Ibn al-Hajar dari Mażhab al-Syafi•iyyah berpendapat sama seperti Imam Abū Hanifah dan Imam Mālik. (68)
e. Sadd al-Żarā’i•
Sadd al-żarā’i• adalah menetapkan hukum suatu perkara dengan suatu hukum pada perkara yang dituju. (69) Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah menegaskan bahwa semua tujuan hukum tidak akan tercapai kecuali dengan sebab-sebab dan sarana (wasā’il) yang membawa tujuan tersebut, sehingga semua sebab dan sarana tersebut harus mengikuti tujuan hukumnya. Hal ini menurutnya telah menjadi ketentuan dari syariat Islam. Jika Allah Swt. telah mengharamkan sesuatu maka Allah Swt. pasti mengharamkan sarana-sarana untuk mencapai sesuatu yang diharamkan tersebut. (70)
Penggunaan sadd al-żarā’i• sebagai sumber hukum Islam harus memperhatikan tiga hal, yaitu: (71)
(1) Maqāsid (tujuan). Jika maqāsid atau tujuannya dilarang, maka hukum wasā’il atau semua sarana untuk mencapai tujuan tersebut dilarang, sebagaimana dirumuskan qa•idah al-usūl:
مَا حُرِّمَ اسْتِعْمَالُهُ حُرِّمَ اتِّخَاذُهُ
Artinya: “Apa yang haram digunakan haram pula didapatkannya” (72).

Hal ini menunjukkan bahwa hukum wasā’il sangat tergantung pada maqāsid.
(2) Niat atau motif yang mendorong orang melakukan sesuatu. Jika niatnya mencapai yang haram, maka hukum wasā’il-nya menjadi haram. Sebaliknya pula, Jika niatnya mencapai yang halal, maka hukum wasā’il-nya menjadi halal. Ditegaskan dalam qa•idah al-usūl:
الْأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا فِيهَا
Artinya: “Segala sesuatu urusan tergantung dari maksud-maksudnya”. (73)

(3) Akibat dari suatu perbuatan. Jika suatu perbuatan-perbuatan menghasilkan suatu akibat hukum yang haram, maka perbuatan-perbuatan tersebut menjadi wasā’il. Qa•idah al-usūl menegaskan:
مَا حُرِّمَ أَخْذُهُ حُرِّمَ إعْطَاؤُهُ

Artinya: “Apa yang haram diambil, haram pula diberikan” . (74)

Terjadi ikhtilāf di kalangan fuqaha tentang menjadikan sadd al-żarā’i• sebagai sumber hukum Islam. Fuqaha Mażhab Mālikiyyah dan fuqaha Mażhab Hanabilah sangat berpegang teguh dalam menggunakan sadd al-żarā’i•. Imam al-Syāfi•ī dan Imam Abū Hanifah sedikit sekali menggunakan sadd al-żarā’i• sebagai sumber penetapan hukum Islam. Adapun fuqaha Mażhab Zāhiriyyah menolak menggunakan sadd al-żarā’i• dengan alasan sangat berpotensi menjatuhkan hukuman haram pada suatu perbuatan yang sebenarnya mubah hanya karena prinsip kehati-hatian (ihtiyāt). (75)
f. Mażhab al-Sahābī
Mażhab al-sahābī adalah pendapat maupun penetapan hukum para sahabat Rasulullah saw. tentang suatu peristiwa hukum, sehingga disebut pula qawl al-Sahābī. (76) Mażhab al-sahābī berbeda dengan ijmak dari para sahabat atau pendapat salah seorang sahabat yang tidak diketahui ada sahabat lain yang menentangnya yang dapat disebut ijmā۠ al-sukūtī yang dijadikan sumber hukum Islam oleh hampir semua fuqaha. mażhab al-sahābī merupakan pendapat hukum (fatwa) salah seorang atau beberapa orang sahabat, namun ada sahabat lain yang tidak sependapat dengan pendapat hukum tersebut. (77)
Para fuqaha berbeda pendapat dalam menjadikan mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam. Kebanyakan ulama memandang bahwa mażhab al-sahābī dapat dijadikan sumber hukum Islam. Imam Mālik dan Imam Ahmad bin Hanbal menjadikan mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam di bawah ijmak. Imam al-Syāfi•ī dan Imam Abū Hanifah mengambil mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam yang dipandang keduanya lebih dekat pada kebenaran.(78) Sedangkan Imam al-Gazālī dan Imam al-Syawkānī tidak memandang mażhab al-sahābī sebagai sumber hukum Islam dengan alasan bahwa para sahabat tidak ma•sūm (terlepas dari kesalahan) sehingga bisa saja pendapat mereka salah. (79)
e. Syara•a Man Qablanā
Syara•a man qablanā (syariat umat-umat terdahulu sebelum Islam) adalah hukum-hukum Allah swt. yang disyariatkan kepada para nabi dan rasul-Nya sebelum diutusnya Rasulullah saw. yang diberitakan secara jelas dalam al-Qur’an dan hadis dan tidak terdapat keterangan dari al-Qur’an dan hadis bahwa hukum-hukum tersebut telah dihapuskan (dinasakh) oleh syariat Islam. (80)
Syara•a man qablanā dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam apabila memenuhi dua syarat, yaitu: (81)
(1) Syara•a man qablanā diberitakan atau dijelaskan dalam al-Qur'an atau hadis yang al-nas. Syara•a man qablanā yang tidak diberitakan atau dijelaskan oleh al-nas tidak boleh dipercaya sebagai hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. karena kemungkinan besar telah dirubah-rubah oleh umat yang diturunkan syariat tersebut, sedangkan menetapkan hukum Islam harus berdasarkan dalil yang kuat.
(2) Syara•a man qablanā dikuatkan keberadaannya untuk diamalkan oleh umat Islam berdasarkan al-nas atau tidak ditemukan al-nas yang telah menghapus diamalkannya syariat tersebut.
Para fuqaha sepakat untuk menjadikan syara•a man qablanā yang terdapat petunjuk dari al-nas untuk diamalkan umat Islam sebagai sumber hukum, seperti haji dan berkhitan dari syariat Nabi Ibrahim a.s., puasa dari syariat para nabi-nabi sebelumnya, dan sebagainya, tentu dengan petunjuk dari al-nas mengenai cara mengamalkannya. Mereka juga sepakat untuk menolak dan tidak menjadikan syara•a man qablanā yang jelas-jelas telah dihapus oleh syariat Islam berdasarkan al-nas. Namun mereka berbeda pendapat tentang menjadikan syara•a man qablanā sebagai sumber hukum Islam, jika tidak ditemukan al-nas yang telah menghapuskan syariat tersebut.
Kebanyakan fuqaha Mażhab Hanafiyyah, sebagian fuqaha Mażhab Mālikiyyyah, dan Imam al-Syāfi•ī menjadikan syara•a man qablanā sebagai sumber hukum Islam jika diberitakan oleh al-nas dan tidak ditemukan penghapusan terhadap syariat tersebut oleh al-nas. Sedangkan sebagian fuqaha lainnya, seperti ulama golongan Mu•tazilah dan Imam Ahmad (dalam salah satu riwayat) menolak menggunakan syara•a man qablanā karena tidak wajib diamalkan, kecuali apabila terdapat al-nas yang memerintahkan untuk mengamalkan syara•a man qablanā tersebut. (82)
3. Ruang Lingkup Hukum Islam
Ruang lingkup hukum Islam sangat luas meliputi semua aspek amal perbuatan manusia. Zainuddin Ali membagi ruang lingkup hukum Islam menjadi enam ruang lingkup hukum Islam, yaitu: (83)
1) Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah swt. (ritual) yang terdiri dari:
(1) Rukun Islam, yaitu: mengucapkan syahadatain, mengerjakan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bila memiliki kemampuan (mampu fisik dan non fisik).
(2) Ibadah yang berhubungan dengan rukun Islam dan ibadah lainnya, yaitu:
a. Badani (bersifat phisik), yaitu: bersuci: wudhu, mandi, tayamum, peraturan untuk menghilangkan najis, peraturan air, istinja, dan lain-lain, adzan, qamat, i’tikaf, do’a, shalawat, umrah, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan jenazah, dan lain-lain.
b. Mali (bersifat harta): qurban, aqiqah, fidyah, dan lain-lain.
2) Mu’amalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (termasuk jual beli), di antaranya: dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerjasama dagang, simpanan barang uang atau barang, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, barang titipan, pesanan, dan lain-lain.
3) Jinayah, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, di antaranya qishash, diyat, kifarat, pembunuhan, zina, minuman keras, murtad, khianat dalam berjuang, kesaksian, dan lain-lain.
4) Siyasah, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan, di antaranya: persaudaraan, musyawarah, keadilan, tolong-menolong, kebebasan, toleransi, tanggung jawab sosial, kepemimpinan, pemerintahan, dan lain-lain.
5) Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, di antaranya: syukur, sabar, rendah hati, pemaaf, tawakkal, konsekuen, berani, berbuat baik kepada ayah dan ibu, dan lain-lain.
6) Peraturan-peraturan lainnya di antaranya: makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pengentasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang dan lain-lain.

Kategori ruang lingkup hukum Islam yang dirumuskan oleh Zainuddin Ali terlihat jelas lebih berdimensi syariat karena memasukkan akhlak sebagai bagian dari ruang lingkup hukum Islam. Namun jika ruang lingkup hukum Islam ini ditinjau dari dimensi fikih, maka akhlak tidak dapat dikategorikan sebagai bagian dari ruang lingkup fikih. Pernyataan penulis ini dilandasi oleh tiga argumen, yaitu:
a. Hukum Islam dalam dimensi fikih lebih bersifat lahiriyah atau eksoteris, seperti pembahasan bersuci dari najis dan hadaś, kaifiyah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya yang merupakan perbuatan jasmaniah. Sedangkan akhlak lebih bersifat batiniyah atau esoteris, seperti ikhlas dalam beramal, tawakkal, pemaaf, dan sebagainya. Hal ini menjadikan ruang lingkup pembahasan fikih sangat formal legalistis yang dapat terbedakan dengan akhlak yang lebih bersifat spiritual esensialistis. Misalnya, apabila seseorang shalat telah memenuhi rukun dan syarat sahnya shalat, maka shalatnya sah dalam pandangan fikih. Fikih tidak memasukkan keikhlasan sebagai bagian dari rukun atau syarat sahnya shalat. Namun jika ditinjau dari segi akhlak, maka orang yang tidak mengerjakan shalat dengan ikhlas tentu shalatnya tidak diterima oleh Allah Swt.
b. Hukum Islam dalam dimensi fikih merupakan standar minimal seseorang dalam mengerjakan syariat Islam, sedangkan akhlak merupakan standar seseorang mencapai ketinggian martabat beramal shaleh dalam syariat Islam. Misalnya, fikih hanya mewajibkan zakat dan memandang infak dan sedekah merupakan sunnah sebagaimana telah dinyatakan ijmak oleh para ulama. (84) Namun dalam pandangan akhlak, seseorang yang tidak berinfak atau bersedekah tidak akan pernah mencapai kebaikan sempurna (Q.S. Alī •Imrān (3): 92), bahkan orang yang menolak bersedekah atau menghardik kepada anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin adalah pendusta-pendusta agama (Q.S. al-Ma•ūn (107): 1-3).
c. Berdasarkan dua argumen yang telah disebutkan sebelumnya, maka hukum Islam dalam dimensi fikih lebih sempit dari pada akhlak. Oleh karena itu, para fuqaha dalam menulis kitab-kitab fikih tidak memasukkan pembahasan akhlak sebagai bab tersendiri dalam kitab-kitab mereka, walaupun pembahasan mengenai akhlak tidak ditinggalkan sepenuhnya ketika membahas fikih. Hal inilah yang menjadikan para ulama dan cendekiawan muslim mengkategorikan kitab-kitab yang lebih banyak porsinya membahas masalah akhlak sebagai kitab akhlak, adab atau tasawuf walaupun kitab tersebut juga membahas masalah fikih, seperti Ihyā •Ulum al-Dīn dan Bidāyah wa al-Hidāyah keduanya karya Imām al-Gazālī.
Perbedaan antara fikih dan akhlak ini hanyalah perbedaan dalam ruang lingkup pembahasan ilmiyah, bukan amaliyah. Dengan kata lain, pemisahan antara fikih dan akhlak tersebut hanyalah merupakan bagian dari kategorisasi disiplin ilmu-ilmu dalam Islam (•ulūm al-dīn, dirāsah al-Islamiyyah atau islamic studies), bukan dalam amalan Islam (•amaliyyah). Seorang muslim dalam melaksanakan syariat Islam secara konsisten harus mengamalkan fikih dan akhlak untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama dan meraih ketakwaan.
--------------------
Catatan Kaki

1) (1) Louis Ma’lūf, al-Munjīd fī al-lugah wa al-A•lām (Beirut: Dār al-Masyriq, 1986), h. 146.
2) (2) Syaikh Muhammad bi Sālih al-•Uśaymin, al-Usūl min •Ilm al-Usūl, diterjemahkan oleh Abu Shilah dan Ummu Shilah, Prinsip Ilmu Ushul Fiqh (t.t.: Tholib Worldpress, 2007), h. 6. Definisi yang hampir sama juga dikemukakan oleh Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, •Ilm Usūl al-Fiqh (Cet. XII; al-Qāhirah : t.t, 1398 H/1978 M), h. 100.
3) (3) Lihat ibid., h. 105-116. Lihat pula T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid II (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 136-191.
4) (4) Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995), h. 3.
5) (5) Kata syariat (syarī•ah) secara etimologi berasal dari kata syara•a atau al-syay’a yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu; juga berasal dari kata syir•a yang bermakna suatu tempat yang dijadikan sarana mengambil air secara langsung sehingga yang mengambilnya tidak membutuhkan bantuan orang lain. Secara terminologi, para ulama merumuskan pengertian syariat sama dengan agama Islam (din al-Islām), seperti definsi yang dikemukakan oleh al-Tahanāwī : “syariat adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang didatangkan oleh seorang nabi, baik berkaitan dengan cara mengerjakan suatu amalan yang disebut far•iyyah •amaliyyah yang diwacanakan dengan ilmu fikih maupun berkaitan dengan keyakinan (i•tiqādiyyah) yang diwacanakan dengan ilmu kalam atau. Secara syar’i dinamakan dengan agama (dīn atau millah). Lihat Abī al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu•jam Maqayis al-Lugah, Juz III (t.t.: Dār al-Fikr li al-Taba•ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi•, 1979), h. 262. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Jilid I (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 31.
6) Fikih (fiqh) secara etimologi berasal dari kata faqaha yang bermakna “maksud atas sesuatu” dan “ilmu pengetahuan.” Secara terminologi, fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsiliyyah) atau kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci. Lihat Abī al-Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariya, op. cit., Juz IV, h. 442. Lihat pula Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit, h. 11.
7) Kata ijtihad secara etimologi berasal dari kata jāhada (fi•il mādī), yujāhidu (fi•il mudāri•) dan mujāhadah (masdar) yang bermakna kesungguhan, kepayahan atau mengerahkan segala tenaga untuk mencapai suatu tujuan. Misalnya, ungkapan ijtahada fī haml hajar al-rakhā (dia bersungguh-sungguh mencurahkan segala tenaga untuk menangkat batu penggilingan itu). Kata ijtihad tidak bisa digunakan untuk ungkapan ijtahada fī haml khardalah (dia mencurahkan segala tenaga untuk mengangkat sebuah biji sawi). Pengertian ijtihad secara terminologi dapat ditinjau dari tiga dimensi, yaitu definisi yang luas, definisi yang sempit dan definisi paling sempit. Definisi yang luas dikemukakan oleh Imam al-Syawkānī yang mengemukakan ijtihad sebagai pencurahan segenap kemampuan daya intelektual dan spiritual dalam menghadapi suatu kegiatan atau permasalahan yang sukar. Pengarahan kemampuan tersebut meliputi berbagai lapangan ilmu pengetahuan, seperti •ilm al-kalām, filsafat, tasawuf, fikih dan sebagainya. Ia menyebut ijtihad tersebut sebagai ijtihād fī tasil al-hukm al-•ilm (ijtihad mencapai ketentuan ilmu pengetahuan). Ibn Taymiyah bahkan memandang bahwa upaya sungguh-sungguh kaum sufi dalam kepatuhan kepada Allah Swt. merupakan bentuk ijtihad, sedangkan para sufi merupakan mujtahid-mujtahid pada bidang tersebut. Definisi yang sempit dikemukakan oleh para ulama ushul, yaitu mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis dengan menggunakan metode istinbat. Definisi sempit ini menunjukkan bahwa ijtihad hanya dibatasi dalam masalah-masalah hukum syara’ yang bersifat praktis, khususnya masalah fikih, bukan dalam bidang lain. Hanya para fuqaha yang memenuhi syarat yang disebut sebagai para mujtahid karena tugas mereka adalah merumuskan hukum-hukum yang bersifat praktis tersebut dari dalil-dalil yang absah sebagai landasan hukum Islam sehingga dapat diamalkan oleh umat Islam. Sedangkan definisi yang paling sempit tentang ijtihad, yaitu mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis untuk mendapatkan suatu hukum Islam yang bersifat zannī. Dalam konteks ini, ijtihad dalam bidang hukum Islam hanya diperkenankan dalam masalah-masalah yang bersifat zanniyah atau belum jelas ketentuannya dalam nas sehingga masih memerlukan takwil atau penafsiran untuk memahami maksud nas dan merumuskan hukum-hukumnya berdasarkan penakwilan atau penafsiran tersebut. Sedangkan hal-hal yang bersifat qat•iyah atau sudah jelas ketentuannya dalam nas bukan wilayah ijtihad karena tidak perlu lagi dicari takwil maupun tafsirannya lagi. Lihat Muhammad bin ·Alī bin Muhammad al-Syawkani, Irsyād al-Fuhul Ilā Tahqiq al-Haq Min ·Ilmi al-Usul (Cet. I; Mesir : Mutafa Bāb al-Halabi, 1356 H/1937 M.), h. 250; Syaikh al-Islām Abū Barakāt •Abd al-Salām bin •Abdillah bin Abī al-Qāsim bin al-Khudar bin Muhammad bin •Alī bin Taymiyah al-Hārānī, Majmū• al-Fatawā, Juz II (Beirut : Dār al-•Arabiyyah, 1398 H.), h. 18; dan ·Abd al-Wahāb Khallāf, loc. cit.
8) Mengenai muncul dan berkembangnya maźhab-maźhab fikih dalam sejarah hukum Islam, lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Cet. VI; Jakarta : Bulan Bintang, 1989), h. 96-133. Lihat pula Rachmat Djatnika, “Perkembangan Ilmu Fiqh di Dunia Islam,” dalam Juhaya S. Pradja, Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya (Cet. I; Bandung : Remaja Rosdakarya, 1991), h. 8-15.
9) Misalnya, Mawlana Muhammad Zakariyya al-Kandahlāwī mengatakan bahwa ia telah menghitung berbedaan pendapat ulama empat maźhab sunni (Maźhab Hanāfī, Malikī, Syafi•ī dan Hanbalī ) dalam masalah tata cara mengerjakan shalat ada 200 perbedaan pendapat. Lihat Muhammad Zakariyya al-Kandahlāwī, Fadā’il al-Tablig, diterjemahkan oleh A. Abdurrahman Ahmad, Ali Makhfudzi dan Harun Ar-Rasyid dengan judul Fadhilah Tablig, dalam Himpunan Fadhilah Amal (Cet. I; Yogyakarta : Al-Shaff, 2006), h. 407.
10) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 23.
11) Lihat Q.S. Yūnus (10): 37; Q.S. al-Jāśiyah (45): 18.
12) Lihat Q.S. Hūd (11): 17; Q.S. al-Jāśiyah (45): 8; Q.S. al-An•ām (6): 157; Q.S. al-Mā’idah (5): 49. MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam putusannya tanggal 25 Syawal 1428 H/6 Nopember 2007 M. Tentang Pedoman Identifikasi Aliran Sesat menegaskan bahwa salah satu kriteria untuk menyatakan suatu aliran sesat adalah mengingkari otentitas dan atau kebenaran isi al-Qur’an. Lihat Majelis Ulama Indonesia, Pedoman Identifikasi Aliran Sesat (t.t.: t.p, 2007), h. 4.
13) Contoh ayat qat˙iy al-dalālah adalah Q.S. al-Nūr (24): 2 :
• •  •     . . .
Terjemahnya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, . . .” Kata mi’ata jaldah (100) kali dera merupakan makna yang bersifat pasti. Tidak bisa diartikan di bawah atau di atas 100 kali dera.

14) Contoh ayat zanniy al-dalālah adalah Q.S. al-Baqarah (2): 228 :
     . . .
Terjemahnya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurū' . . .” Kata qurū’ayat ini memiliki arti ganda, dapat berarti suci dari haid. Maka śalāśata qurū’ dapat berarti tiga kali suci dan dapat pula berarti tiga kali haid. Ketidakjelasan ini, menyebabkan al-dalālah ayat tersebut digolongkan sebagai zanniy.

15) Contoh •Usmān bin Maz’ūn dan •Amr bin Ma•addī Kariba salah menafsirkan Q.S. al-Mā’idah (5): 93:
           • •    • •  • •    
Terjemahnya: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh Karena memakan makanan yang Telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, Kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Berdasarkan ayat ini, mereka membolehkan meminum khamar. Imam al-Suyūtī berkomentar bahwa sekiranya mereka mengetahui asbāb al-nuzūl, tentu mereka tidak berkata demikian, sebab Imam Ahmad dan Imam al-Nasā’ī meriwayatkan latar belakang peristiwa turunnya ayat ini adalah orang-orang yang ketika khamar diharamkan mempertanyakan nasib kaum muslimin yang terbunuh di jalan Allah sedang mereka dahulunya meminum khamar. Imam Jalāluddīn al-Suyūtī, al-Itqān fī •Ulūm al-Qur’ān, Juz I (t.t.: Dār al-Fikr, t.th.), h. 29.
16) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 36.
17) T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 175-178.
18) Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh para perawi yang sangat banyak dari setiap tingkatan jalur sanad (tabaqah) yang mustahil menurut kebiasaan mereka berdusta. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid I (Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 57.
19) Hadis masyhūr adalah hadis hadis yang telah masyhur atau dikenal oleh masyarakat luas, tetapi asalnya sebenarnya hanya diriwayatkan oleh lebih dari dua orang periwayat yang tidak mencapai mutawatir. Para ulama hadis sebenarnya mengkateorikan hadis masyhūr tersebut adalah hadis ahad, sehingga masih belum bisa dipastikan sumbernya berasal dari Rasulullah saw. Lihat ibid., h. 67-68.
20) Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau lebih periwayat yang tidak mencapai mutawatir. Lihat ibid., h. 66.
21) Hadis sahīh adalah hadis diyakini sumbernya berasal dari Rasulullah saw. yang memenuhi lima syarat, yaitu: (i) bersambung sanadnya (tidak terputus periwayatannya) sampai kepada Rasulullah saw. ; (2) matan atau isi hadis tidak berlawanan dengan periwayatan yang lebih kuat (rajih); (3) matannya tidak cacat; (4) Semua perawinya adil (dapat dipercaya kejujurannya); (5) semua perawinya kuat hafalannya (dabit). Lihat ibid., h. 110.
22) Hadis hasan adalah hadis yang memenuhi semua syarat hadis sahīh, namun salah satu atau lebih perawinya ada yang kurang kuat hafalannya, tetapi dalam meriwayatkan hadis lebih banyak benar dari pada salahnya. Ibid., h. 161-165.
23) Hadis da•īf adalah hadis-hadis yang tidak memenuhi syarat hadis sahīh dan hadis hasan. Ditinjau dari segi sanadnya, suatu hadis dapat menjadi da•īf disebabkan gugur atau terputus salah satu atau dua perawi baik tidak disebutkan atau sengaja disembunyikan keadaannya. Ditinjau dari segi perawi, hadis menjadi da•īf disebabkan: (i) pernah berdusta atau tertuduh berdusta; (ii) banyak keliru; (iii) lengah dalam urusan menjaga hafalan; (iv) kurang baik perilaku sehari-hari; (v) banyak waham; (vi) periwayatannya menyalahi perawi lain yang terpercaya; (vii) tidak dikenal riwayat hidupnya; serta (viii) menganut akidah atau i’tiqad yang berlawanan dengan yang diterima dari Rasulullah saw. Ditinjau dari segi matan, suatu hadis menjadi da•īf karena matannya janggal dari segi tata bahasa Arab atau matan terbolak-balik. Lihat ibid., h. 220-225.
24) Hadis mawdū• adalah hadis yang terbukti dibuat-buat atau hadis palsu. Lihat ibid., h. 360.
25) Imam al-Bukhārī, Imam Muslim, Imam Dawud bin •Alī al-Zahirī serta Imam Abū Bakr bin •Arabī al-Malikī tetap tidak membolehkan digunakan untuk hadis da•īf untuk menerangkan keutamaan suatu fadā’il •amal, targīb, dan tarhīb disebabkan hadis da•īf masih belum tentu berasal dari Rasulullah saw. Lihat ibid., h. 181 dan 231.
26) Kajian tentang masalah ini (termasuk al-Qur'an) dibahas oleh ilmu usūl al-fiqh dalam masalah al-qawā•id al-lugawiyyah atau dilālah. Lihat Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 140-196; T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam, Jilid II, h. 34-65; Asjmuni A. Rahman, Metoda Penetapan Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 5-107.
27) Salah satu contoh produk hukum yang lahir dari Rasulullah saw. adalah ketentuan beliau tentang larangan menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Beberapa tahun kemudian, ketentuan Rasulullah saw. dilanggar oleh para sahabat. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah saw. dan beliau membenarkan tindakan para sahabat tersebut serta menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban tersebut didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri dari kaum miskin yang datang dari perkampungan di sekitar Madinah). Setelah itu. Rasulullah saw. membolehkan untuk menyimpan daging kurban tersebut karena tidak ada lagi tamu yang membutuhkannya. Malik bin Anas, al-Muwata’ (Cet. I; Beirut : Libanon, 1409 H/1989 M.), h. 299. Mengenai masalah al-nasikh wa al-mansukh al-hadīś dan asbāb al-wurūd al-hadīś lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Dirayah Hadits, Jilid II (Cet. IV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 286-300.
28) Mengenai ta·arrud dan metode penyelesaiannya lihat ·Abdul Wahab Khallāf, op. cit., h. 274-276.
29) Banyak orang beranggapan bahwa ijmak dan qiyas merupakan dua sumber hukum Islam yang disepakati oleh umat Islam, seperti sepakatnya umat Islam menerima al-Qur’an dan hadis sebagai landasan hukum. Anggapan ini tidak tepat karena beberapa kelompok umat Islam di luar ulama sunni, ada yang menolak keduanya sebagai sumber hukum Islam sebagaimana akan dijelaskan oleh penulis.
30) Ibid., h. 45.
31) Ibid., h. 45-46.
32) Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma’ in Islam, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. Ijma’ (Cet. I; Bandung: Pustaka, 1985), h. 186. Ibn Hazm telah meringkas pula perbedaan pandangan para fuqaha tentang ijmak, lihat Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, Marātib al-Ijmā• fī al-•Ibadāt wal al-Mu•āmalāt wa al-I•tiqād (Beirut: Dār al-Kutub al-•Ilmiyyah, t.th.), h. 9-12.
33) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Ed. II; Cet. I; Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 162.
34) Ibid., h. 212-214.
35) Ahmad Hasan, op. cit., h. 189-191.
36) Ahmad Hasan, op. cit., h. 191-194.
37) Ibid., h. 204-207; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 256 dan 294.
38) Ahmad Hasan, op. cit., h. 198-204; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 54-57.
39) Ahmad Hasan, op. cit., h. 207-214; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 344-348; Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, op. cit., h. 8-10.
40) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 52. Lihat pula Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Imam Syafi’i (Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 109-111.
41) Contoh qiyas di Indonesia seperti menjadikan beras sebagai ukuran pengeluaran zakat fitrah. Asalnya zakat fitrah pada masa Rasulullah saw. adalah mengeluarkan gandum sebanyak 2 ½ Kg bagi setiap jiwa. Di Indonesia, gandum bukanlah makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, termasuk umat Islam. Tetapi hal ini tidak menghalangi umat Islam di Indonesia mengeluarkan zakat fitrah. Lalu diqiyaskanlah zakat fitrah menggunakan ukuran gandum menjadi zakat fitrah menggunakan ukuran beras karena adanya persamaan •illah, yaitu keduanya merupakan “makanan pokok”.
42) Abū al-Hasan al-Karakhī, Kasyf al-Asrār, Juz I, h. 329 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
43) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 60; Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam (Cet. I; Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 156-166.
44) Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalist: A Comparative Study of Islamic Legal System, diterjemahkan oleh Yudian W. Asmin, et. al., Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam (Cet. II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 108; Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 54.
45) Syarmin Syukur, op. cit., h. 169.
46) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 79. Qiyās al-jallī adalah melakukan qiyas dengan •illah yang ada disebutkan dalam al-nas maupun tidak ada disebutkan dalam al-nas, namun perbedaan di antara al-asl dan al-far•ū diyakini tidak muktabar, misalnya mengharamkan memukul orang tua kepada pengharaman mengucapkan perkataan yang menyakiti orang tua dengan •illah menahan gangguan terhadap orang tua. Sedangkan qiyās al-khafī adalah qiyas yang dilakukan dengan mengambil •illah dari hukum al-asl, kemudian diterapkan pada al-far•ū, misalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat pada pembunuhan benda tajam. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Hukum Islam, Jilid I”, h. 225-226. Contoh berpaling dari hukum yang asas menuju pada hukum pengecualian adalah dibolehkannya seorang dokter laki-laki melihat aurat seorang perempuan dalam pengobatan disebabkan keadaan darurat. Hukum asas perbuatan tersebut haram, namun dibolehkan karena adanya darurat sebagai pengecualiannya. Lihat Umar Shihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Cet. I; Semarang: Dina Utama Semarang, t.th.), h. 27.
47) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 72; T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 172-173.
48) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 73. Lihat pula Sulaiman Abdullah, op.cit., h. 185-187.
49) Muhammad bin Idrīs al-Syāfi•ī, al-Risālah, h. 503-558 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
50) Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, al-Ihkām fī al-Usūl al-Ahkām, Juz I, h. 129 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
51) Umar Shihab, op. cit., h. 29.
52) Lihat Sulaiman Abdullah, op. cit., h. 176. Contoh maslahah al-mansūsah, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Ankabūt (29) : 45 yang menyebutkan secara tekstual maslahat shalat:
. . .          . . .
Terjemahnya: “. . . dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar . . . “
Contoh maslahah al-mustanbata, firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Nisā’ (4): 43:
            . . .
Terjemahnya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. . .” Dengan melakukan penalaran terhadap ayat ini, ditemukan maslahat larangan minuman keras adalah disebabkan menutup atau mengacaukan akal serta kesadaran manusia yang salah satunya ditunjukkan oleh indikasi orang yang sedang mabuk tidak memahami ucapannya sendiri. Contoh maslahah al-mulgah seperti membolehkan riba dan perjudian untuk mencari keuntungan yang jelas-jelas diharamkan oleh ajaran Islam. Contoh maslahah al-mursalah adalah pencatatan nikah, talak dan rujuk yang banyak maslahatnya, sebagaimana akan dijelaskan oleh penulis, namun tidak ditemukan ketentuan hukumnya dalam al-nas maupun ijmak.
53) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh (Cet. VI; Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 186-187; Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 86-87.
54) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 222.
55) Ibid., h. 128-131.
56) Lihat Ahmad •Abd al-Rahīm al-Sayih, Risālah fī Ri•āyah al-Maslahah lī al-Imām al-Tūfī (Mesir: Dār al-Misriyyah al-Banāniyyah, 1993), h. 13-18.
57) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 222-223.
58) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 91.
59) Penetapan hukum berdasarkan istishāb dicontohkan oleh Umar Shihab: A mengawini B secara sah. Namun disebabkan suatu hal, maka A meninggalkan istrinya selama lima tahun tanpa proses talak. Kemudian datang C yang berkeinginan menikahi B yang dianggap tidak bersuami. Berdasarkan istishāb maka pernikahan B dan C tidak boleh dilangsungkan karena adanya status hukum yang masih samar, yaitu status B sebagai istri A. Ketentuan hukum ini bisa diubah jika ada keputusan Pengadilan Agama bahwa B benar-benar bercerai dengan A. Umar Shihab, op. cit., h. 32-33.
60) Muhammad al-Habsy, Syarh al-Mu•tamad Fī Usūl al-Fiqh, Juz I, h. 59 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
61) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab”, h. 63, 221.
62) T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh”, h. 188.
63) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 79.
64) •Abd al-Rahmān bin Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūtī, al-Asybāhu wa al-Nażā’ir, Juz I, h. 164 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
65) Syarmin Syukur, op. cit., h. 209-221.
66) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, loc. cit.
67) •Abd al-Rahmān bin Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūtī, op. cit., h. 168.
68) Asjmuni A. Rahman, Kedudukan Adat Kebiasaan (‘Urf) dalam Hukum Islam (Ed. I; Cet. I; Yogyakarta: Bina Usaha, 1983), h. 15-17.
69) Contoh sadd al-żarā’i• adalah penetapan hukum wudhu sehubungan dengan pelaksanaan shalat. Shalat hukumnya wajib, sedangkan salah satu syarat sah shalat adalah suci dari najis dan hadaś. Wudhu adalah sarana untuk mensucikan hadaś kecil, sehingga hukum wudhu menjadi wajib karena dikerjakan untuk memenuhi syarat sah shalat wajib. Contoh lain: diharamkannya menjual ayam jago kepada seseorang yang sering melakukan sabung ayam. Syarmin Syukur, op. ci., h. 245-246.
70) Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I•lām al-Muwaqqi•īn •An Rabb al-•Ālamīn, Juz III, h. 342-343 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
71) Syarmin Syukur, op. ci., h. 247.
72) •Abd al-Rahmān bin Abī Bakr Jalāluddīn al-Suyūtī, op. cit., h. 268.
73) Ibid., h. 10.
74) Ibid., h. 269.
75) Syarmin Syukur, op. cit., h. 246-248.
76) Terdapat perbedaan tegas antara kriteria sahabat yang dimaksudkan oleh ilmu usūl al-fiqh dalam konteks mażhab al-sahābī dengan kriteria sahabat dalam ilmu hadis yang dijadikan mata rantai periwayatan hadis (sanad). Sahabat dalam konteks mażhab al-sahābī adalah sahabat Rasulullah saw. yang telah lama beriman kepada Rasulullah saw. sebelum perjanjian Hudaybiyyah (tahun 6 sebelum Hijriah), turut berperang bersama Rasulullah saw., atau sahabat yang terkenal dan masyhur kealimannya dalam ilmu fikih. Hanya sedikit di antara sahabat yang masuk kriteria ini, di antaranya: empat orang sahabat khulafā al-rāsyidīn (Abū Bakr al-Siddiq, •Umar bin Khattāb, •Uśmān bin •Affān, dan •Alī bin Abī Tālib), ۠Ā’isyah Umm al-Mu’minīn, Mu•aż bin Jabal, Zayd bin Śabit, •Abdullah bin •Umar, •Abdullah bin •Abbās, dan lain-lain. Lihat T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., h. 181; Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 94. Sedangkan sahabat dalam ilmu hadis adalah setiap orang yang dapat duduk bersama Rasulullah saw. dalam suatu majelis, walaupun hanya sesaat dan dapat mendengar pembicaraan Rasulullah saw. walaupun sekalimat atau dapat melihat sesuatu dari Rasulullah saw. yang dapat dipahaminya, sedangkan ia bukanlah dari golongan orang munafik, kafir, atau mati dalam keadaan munafik dan kafir. Lihat Abī Muhammad •Alī bin Ahmad bin Sa•īd Ibn Hazm, al-Ihkām fī al-Usūl al-Ahkām, Juz 5, h. 663 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).

77) Contoh pendapat dari Umar bin Khattāb dan anaknya •Abdullah bin •Umar bahwa kulit dari bangkai tidak bisa disucikan dengan apapun, termasuk tidak bisa disucikan dengan samak. Pendapat kedua orang sahabat ini tidak disepakati oleh sahabat lain. Lihat Muhammad bin ·Alī bin Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awtār Syarh Muntaqa al-Akhbār min Ahādiś Sayyid al-Akhyār, Juz I, h. 155 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007).
78) Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 95-96; T.M Hasbi Ash Shiddieqy, “Pengantar Ilmu Fiqh,” h. 182.
79) Abū Hāmid Muhammad al-Gazālī al-Tūsī, al-Mustasfā, Juz II, h. 260 (DVD Rom: al-Maktabah al-Syāmilah, Solo, 2007); Muhammad bin ·Alī bin Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awtār, h. 17.
80) Lihat Syaikh •Abd al-Wahab Khallāf, op. cit., h. 93. Islam dan syariatnya yang menyempurnakan syariat-syariat umat sebelumnya mewarisi pula syariat-syariat sebelum Islam. Ada yang dilanjutkan sepenuhnya oleh syariat Islam, seperti berkhitan yang merupakan syariat Nabi Ibrahim a.s. (HR. Al-Bukhārī : Hadits No. 3178 dan HR. Muslim: Hadits No. 151), ada yang dilanjutkan namun mengalami perubahan dalam prakteknya seperti disyariatkannya berpuasa selama bulan Ramadan (29 atau 30 hari) yang lebih pendek masanya dari syariat Nabi Musa a.s. yang berpuasa 40 hari (Q.S. al-A•rāf (7): 142) , ada pula yang dihapuskan sama sekali oleh syariat Islam seperti dihalalkannya umat Islam memakan daging hewan berkuku belah, sapi, dan domba yang diharamkan pada umat Nabi Musa a.s. (Q.S. al-An•ām (6): 146).
81) Ibid., h. 94,
82) Ibid.; Syarmin Syukur, op. cit., h. 223.
83) Zainuddin Ali, Hukum Islam dalam Kajian Syari’ah dan Fiqh di Indonesia (Ed. I; Cet. I; Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), h. 4-5.
84) Sa•di Abū Habīb, Mawsū•ah al-Ijmā•, diterjemahkan oleh Sahal Machfudz dan Mustofa Bisri, Ensiklopedi Ijmak: Persepakatan Ulama dalam Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Pustaka Firdaus dan P3M, 1987), h. 581 dan 849.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar