Selasa, 14 September 2010

MEMBANGUN STRATEGI KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI KABUPATEN BANGGAI KEPULAUAN MELALUI TOKOH AGAMA )
Oleh : Hendra Umar, S.Ag

A. Pendahuluan
"Strategi Pemadam Kebakaran"
Bagi saya ini merupakan istilah tepat dalam memotret strategi yang ditempuh selama ini ketika menempatkan para tokoh agama dalam mengawal kerukunan umat beragama di negeri ini. Ciri utama strategi ini adalah: "Tokoh agama diperlukan ketika muncul konflik horisontal yang "berbias" agama atau menggunakan agama sebagai "tameng." Tokoh agama difungsikan laksana mobil pemadam kebakaran dengan ucapan dan seruannya diharapkan berubah menjadi "air" yang memadamkan "panasnya" amarah massa yang tersulut api issue yang sengaja ditiupkan."
Strategi ini tidak selamanya terbukti ampuh, bahkan dapat dikatakan lebih banyak menemui kegagalan. Massa hari itu bisa saja pulang ke rumahnya masing-masing, namun amarah massa sudah terlanjur meluap, sebenarnya telah menciptakan bara yang kapan dan di mana saja dapat tersulut.
Terlalu riskan jika tokoh agama yang dimuliakan oleh Tuhan untuk melayani umat beragama hanya diletakkan sebagai "pemadam kebakaran" dan tidak diberikan peran khusus untuk mengokohkan kerukunan umat beragama.


B. Posisi Tokoh Agama dalam Strata Sosial
Dalam konteks sosiologis, masyarakat senantiasa memiliki stratifikasi sosial (social stratification), yaitu lapisan-lapisan sosial masyarakat berdasarkan kelas-kelas sosial (social classes) secara bertingkat yang tercipta karena adanya perbedaan kepandaian, tingkat usia, sifat keaslian kekerabatan, pekerjaan dan jabatan, maupun kekayaan. Sekali pun secara filosofis manusia diciptakan Tuhan memiliki derajat yang sama, namun fakta sosial menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tersebut senantiasa tercipta ketika manusia hidup bermasyarakat. Orang-orang yang menduduki kelas sosial tertinggi dari masyarakat biasanya memiliki sesuatu yang istimewa, sehingga sangat dihormati masyarakat, yaitu: jabatan dengan segala kewenangan yang dimiliki, kepandaian, kekayaan, keturunan dari orang-orang yang dipandang terhormat, dan sebagainya.
Merekalah yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, terutama dalam hal pengambilan keputusan karena masyarakat akan senantiasa akan meminta pertimbangan dan pendapatnya. Dalam model masyarakat patternalistik yang biasanya kental di wilayah pedesaan, lalu lintas opini dalam masyarakat sangat ditentukan oleh mereka, sehingga merekalah yang menentukan apa saja yang perlu dibicarakan atau tidak perlu dibicarakan dan didiamkan oleh masyarakat, fokus issue mana yang perlu dituntaskan, dan sebagainya. Beberapa tokoh karena memiliki ketokohan yang sangat kuat dan kokoh dalam strata sosial masyarakat bahkan memiliki kewenangan tertentu yang secara informal mampu memutuskan kehendak umum masyarakat disebabkan masyarakat akan mengikuti begitu saja ucapan dan keputusan tokoh tersebut. Ia juga mampu menggerakkan opini, emosi, dan sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat hanya dengan seruan-seruannya.
Tokoh agama menempati posisi terhormat dalam strata sosial masyarakat karena penguasaan mereka terhadap ilmu-ilmu keagamaan dan kemampuan mereka melaksanakan ritual-ritual keagamaan. Dalam masyarakat religius seperti masyarakat Kabupaten Banggai Kepulauan, keberadaan tokoh agama sangat dibutuhkan masyarakat. Fakta sosial di desa-desa pada Kabupaten Banggai Kepulauan menunjukkan bahwa tokoh-tokoh agama sangat dibutuhkan untuk memimpin ibadah dan ritual keagamaan. Hal ini menjadi "investasi sosial" bagi tokoh agama membangun pengaruh (patron client) dalam strata sosial masyarakat yang membutuhkan ilmu, pelayanan dan bantuannya, sehingga terbentuk karakter penokohan pada diri para ulama, imam, ustadz, pendeta, penatua, gembala, pastor, suster, bhikhu, dan pandita.
Posisi yang terhormat dalam strata sosial ini semestinya digunakan oleh para tokoh agama untuk mampu menggerakkan segala lalu lintas opini, emosi dan sumber daya yang ada pada masyarakat untuk memelihara dan mengokohkan kerukunan umat beragama demi terciptanya dan terpeliharanya kehidupan yang harmonis dan damai di Kabupaten Banggai Kepulauan. Hal ini bukan saja disebabkan oleh adanya kebutuhan masyarakat untuk hidup aman dan damai, namun juga dikarenakan secara teologis semua ajaran agama mengajarkan kita untuk hidup damai, dan penuh cinta kasih dengan orang lain. Islam memiliki konsep rahmatan lil 'aalamiin, sebuah konsep universal yang menghendaki setiap muslim menjadikan agamanya sebagai rahmat bagi siapa saja. Bibel sebagai Kitab Suci Agama Kristen sangat mendorong umat Kristiani meningkatkan solidaritas bersama untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan yang menjadi tugas panggilan orang-orang yang percaya sebagai kawan sekerja Allah, khususnya kepada mereka yang miskin, lemah, tertindas dan menderita, seperti yang dianjurkan dalam Injil Markus pasal 1 ayat 15, Injil Lukas pasal 4 ayat 18-21 dan Korintus pasal 3 ayat 9. Agama Hindu terkenal dengan konsep "Dharma" yang salah satu tujuannya senantiasa peduli dan membantu kebutuhan orang lain dan hidup dalam kedamaian. Agama Budha mengenal konsep moral metta atau maitri (cinta kasih), karuna (belas kasihan), serta Panna atau Prajna (simpati terhadap kebahagiaan dan keberhasilan orang lain serta bijaksana). Dalam agama Kong Hu Chu, dikenal konsep Kuncu atau Junzi, yaitu kualitas kepribadian paripurna yang bisa dicapai dengan membahagiakan orang lain, seperti yang tertulis dalam Kitab Li Ji. Oleh karena itu, sangat mengherankan apabila ada tokoh agama yang menggunakan ketokohannya untuk menggerakkan opini dan emosi umat beragama agar menghancurkan umat beragama lain.

C. Strategi Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Kabupaten Banggai Kepulauan Melalui Tokoh Agama
Mengingat keberadaan tokoh agama secara sosiologis menduduki "kelas sosial" yang terhormat di Kabupaten Banggai Kepulauan, maka saya sangat yakin bahwa "non sense" membangun kerukunan umat beragama tanpa melibatkan tokoh agama. Tokoh agama bahkan menjadi kunci dalam memelihara kerukunan umat beragama di Kabupaten ini, sehingga pola-pola pembinaan kerukunan umat beragama harus dimulai dengan pembinaan tokoh agama. Hal ini bukan berarti bahwa pembinaan kerukunan umat beragama bersifat elitis karena hanya menjangkau tokoh agamanya dan tidak turun pada level grass root, namun start awal untuk pembinaan kerukunan umat beragama harus dimulai dari para tokoh agama karena keberadaan mereka yang menjadi posisi kunci (key position) yang memiliki wibawa sosial, pengatur lalu lintas opini publik dan rujukan masyarakat dalam mengambil keputusan, minimal dalam wilayah keagamaan.
Berdasarkan hal inilah, maka dibentuklah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang namanya "umat beragama", tetapi isinya "tokoh-tokoh agama", sehingga dengan adanya wadah ini maka para tokoh agama bisa bertemu, bersilaturrahmi, dan membangun kesepahaman untuk menjaga dan mengawal kerukunan umat beragama, kemudian para tokoh agama diharapkan akan menggerakkan lalu lintas opini umat beragama untuk senantiasa hidup rukun dan damai dengan umat beragama lain, sehingga pembinaan kerukunan umat beragama lalu dapat diretas sampai ke level grass root. Oleh karena itu, wacana dan dialog tentang tentang kerukunan umat beragama jangan hanya berhenti atau dihentikan sebatas pada level tokoh agama saja, sekalipun start-nya dimulai pada level tokoh agama sebagai elit umat beragama, namun diharapkan mereka akan membawanya sampai ke level terbawah dari umat beragama yang dibina dan dilayaninya.
Melalui FKUB maka umat beragama di Kabupaten Banggai Kepulauan akan melihat pula keteladan yang jelas bahwa para tokoh agamanya rukun dengan tokoh agama lain, umat akan mendengar bahwa tokoh-tokoh agamanya senantiasa menganjurkan kerukunan antarumat beragama, dan umat beragama menyaksikan bahwa hidup toleran, damai, dan rukun dengan umat beragama lain tidak sebatas wacana atau – meminjam istilah Paul K. Knitter – toleransi yang malas (lazy tolerance) yaitu toleransi yang hanya sebatas permainan retorika, namun memang dipraktekkan secara nyata. Umat beragama akan yakin bahwa memang agama yang dianutnya mengajarkan hidup rukun dan damai dengan umat beragama lain karena para tokoh-tokoh agama mempraktekkannya secara sungguh-sungguh.

C. Penutup
Dalam konteks ini, FKUB Kabupaten Banggai Kepulauan kiranya dapat melakukan pemberdayaan terhadap tokoh-tokoh agama dalam hal :
1) Membangun dan memperkenalkan wacana beragama yang toleran dan inklusif (terbuka menerima keberadaan agama lain) pada para tokoh agama, serta memberdayakan kemampuan para tokoh agama mampu membawa wacana beragama yang toleran dan inklusif pada level grass root demi kokohnya kehidupan antarumat beragama di Kabupaten Banggai Kepulauan.
2) Membangun budaya dialogis antar tokoh agama dan antarumat beragama, seperti dialog yang kita lakukan hari ini. Sudah saatnya para tokoh agama tidak hanya diperankan sebagai "pemadam kebakaran", namun benar-benar difungsikan untuk membangun kekokohan kerukunan umat beragama yang tangguh. Dialog yang dikembangkan tidak saja sebatas masalah kerukunan umat beragama, namun menjangkau pemecahan masalah-masalah pembangunan dan sosial kemasyarakatan, seperti kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan sebagainya.

D. Kepustakan
Sangadji, Ruslan, "Jalan Panjang Menuju Damai Poso," dalam Mohamad Nasir (ed.), Meretas Perdamaian: Masa Depan Sebuah Masa Lalu, Palu: Lakpesdam NU, 2009.

Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Ed. IV, Cet. XVI, Jakarta: Rajawali Press, 1992.

Sorokin, Pitirim A., Social and Cultural Mobility, London: The Press of Glenceoe, 1959.

Yusuf, Yusnar, Prasangka Beragama: Implikasi Konflik Sosial di Ambon Atas Relasi Keberagamaan di Indonesia, Jakarta: Penamadani, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar